Minggu, 09 Mei 2021

ADVOKASI DALAM PROMOSI KESEHATAN

 ADVOKASI DALAM PROMOSI  KESEHATAN

Suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan,  kedudukan atau program dari segala tipe institusi.

Mengajukan, mempertahankan atau merekomendasikan suatu  gagasan di hadapan orang lain.

Berbicara, menarik perhatian masyarakat tentang suatu  masalah, dan mengarahkan pengambilan keputusan mencari  solusi.

Bekerja sama dengan orang atau organisasi lain untuk membuat  perubahan (CEPDA, 1995)

Memasukkan suatu problem ke dalam agenda, mencari solusi  mengenai problem tersebut dan membangun dukungan untuk  bertindak menangani problem maupun solusinya

Ritu S. Sharma; Pengantar Advokasi, 2005 

 
ADVOKASI DALAM PROMKES

 https://drive.google.com/file/d/10_6Nys5fq3CXnCBRWSMFcDsukKt4YZ2U/view?usp=sharing


}Sumber Referensi:
1.Advokasi dalam Promosi Kesehatan dinus.ac.id › repository › docs › ajar › 3._ADVOKASI.
2.Buku Promosi Kesehatan ini menyajikan informasi tentang ... repository.unair.ac.id › Buku Promosi Kesehatan PDF
3.Buku Advokasi Konsep Teknik dan Aplikasi di Bidang Kesehatan di Indon Penulis: Prof. Dr. Hadi Pratomo, MPH, Dr. Ph ISBN: 9789797698232
4.Promosi Kesehatan Dwi Susilowati, M.Kes., Pusdik SDM Kesehatan, Kemenkes RI
Sharma, Ritu R. 2005. Pengantar Advokasi Panduan dan Latihan. Yayasan Obor Indonesia : Jakarta

 

 Buku MAKING HEALTH POLICY

Garis Besar Isi Buku                                                                                                                                                   2

1            Kerangka Kebijakan Kesehatan Konteks, Proses dan Pelaku                                                                 5

2            Kekuasaan dan Proses Kebijakan                                                                                                             19

3            Negara dan Sektor Swasta dalam Kebijakan Kesehatan                                                                        46

4            Penentuan Agenda                                                                                                                                     61

5            Pemerintah dan proses kebijakan                                                                                                            78

6            Interest group dan proses kebijakan                                                                                                        97

7            Implementasi Kebijakan                                                                                                                            115

8            Globalisasi proses pembuatan kebijakan                                                                                               131

9            Penelitian, Evaluasi dan Kebijakan                                                                                                          149

10              Melakukan Analisis Kebijakan                                                                                                                 167

Istilah Akronim Index


 

Garis Besar Isi Buku

Buku ini memberikan pendahuluan yang lengkap untuk mempelajari kekuasaan dan proses dalam kebijakan kesehatan. Buku lain yang banyak tersedia berhubungan dengan isi kebijakan kesehatan –– apa arti kebijakan itu. Buku ini menggunakan ilmu kedokteran, epidemiologi, teori organisasi atau ilmu ekonomi untuk memberi bukti, atau evaluasi kebijakan kesehatan. Berbagai kelompok dokter, ahli epidemiologi, ahli ekonomi kesehatan dan ahli teori organisasi mengembangkan secara teknis jalan keluar yang masuk akal atas masalah−masalah kesehatan masyarakat. Namun, mengejutkan ternyata hanya sedikit bacaan bagi praktisi kesehatan masyarakat yang berusaha memahami bagaimana isu –– isu yang dapat masuk ke dalam agenda kebijakan (dan bagaimana merumuskan isu isu ini agar dapat diterima dengan baik), bagaimana para penyusun kebijakan mengolah bukti (dan bagaimana membangun hubungan yang lebih baik diantara pengambil keputusan), dan mengapa sejumlah inisiatif kebijakan dilaksanakan sedang yang lain tidak. Dimensi−dimensi politik dalam proses kebijakan kesehatan jarang sekali diajarkan di fakultas kedokteran atau kesehatan masyarakat.

 

Mengapa mempelajari kebijakan kesehatan?

 

Buku ini memadukan kekuasaan dan proses ke dalam suatu pengkajian kebijakan kesehatan. Buku ini memandang kedua tema tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan untuk memahami kebijakan. Siapa yang menyusun dan melaksanakan keputusan kebijakan (mereka yang berkuasa) dan bagaimana keputusan diambil (proses) sangat menentukan isi kebijakan kesehatan, dan kesehatan masyarakat pada akhirnya. Untuk menjelaskan pandangan ini, ambil kasus penyusunan kebijakan HIV di negara berpendapatan rendah. Bila ahli ekonomi kesehatan dilibatkan sebagai penasehat menteri kesehatan, maka besar kemungkinan langkah pencegahan yang akan diambil (karena langkah pencegahan lebih menghemat dana daripada langkah pengobatan). Namun, bila menteri kesehatan berkonsultasi dengan perwakilan orang−orang penderita HIV, dan perusahaan farmasi, keputusan yang diambil mungkin adalah penekanan pada pengobatan dan perawatan pasien. Walaupun jarang, organisasi kewanitaan yang kuat dapat didengar oleh menteri, dimana para wanita ini akan melobi untuk intervensi−intervensi memberdayakan wanita, melindungi mereka dari seks yang tidak aman dan tidak dilindungi. Penyatuan pandangan yang berbeda dan kebijakan yang dihasilkan tergantung pada kekuasaan masing−masing pelaku dalam arena kebijakan dan proses penyusunan kebijakan (misal, seberapa besar kelompok yang dikonsultasi dan dilibatkan). Apakah intervensi HIV preventif, kuratif, struktural diberikan atau tidak, prioritas akan diberikan kepada penanganan wabah HIV.

 

Semua kegiatan didasarkan pada politik. Sebagai contoh, penelitian dalam masalah kesehatan masyarakat memerlukan dana. Diberbagai universitas, ilmuwan kampus dan ilmuwan sosial saling berlomba untuk mendapatkan dana penelitian. Politik akan menentukan alokasi dana pemerintah untuk mendanai penelitian dalam bidang dan disiplin ilmu yang berbeda, sedangkan perusahaan swasta akan menginvestasikan dana mereka pada penelitian−penelitian yang memberikan keuntungan terbesar. Politik tidak selesai sampai dengan pendanaan, karena politik akan mengatur akses siapa yang diteliti dan bahkan publikasi. Hasil yang tidak diharapkan akan disimpan dan dibuang oleh penyandang dana proyek, dan hasil tersebut dapat dibawa ke pengadilan atau diabaikan oleh para pengambil keputusan atau mereka yang merasa tidak nyaman. Politik ada dimana−mana. Karena alasan itulah, pemahaman terhadap politik dalam proses kebijakan tidak diragukan sama pentingnya  dengan pemahaman  bagaimana obat−obatan dapat  meningkatkan kesehatan. Dengan cara lain, meski disiplin akademik yang lain dapat memberikan bukti yang diperlukan untuk meningkatkan kesehatan, tidak adanya pemahaman yang baik terhadap proses kebijakan, jalan keluar teknis tidak akan cukup untuk merubah praktek pelaksanaan di dunia nyata.

 

Buku ini ditujukan kepada mereka yang ingin memahami proses kebijakan sehingga mereka memiliki bekal yang cukup untuk mempengaruhinya dalam pekerjaan sehari−hari. Buku ini diharapkan menjadi semacam pegangan bagi para profesional yang ingin memperbaiki keterampilan mereka dalam memberi arah dan mengatur proses kebijakan kesehatan –– terlepas dari isu atau lingkungan kesehatan.

 

 


Buku ini disusun berdasarkan buku karangan Gill Walt, Health Policy: An Introduction to Process and Power,2nd edition (1994). Kami berterima kasih kepada Profesor Calum Paton, Keele University dalam proses penyempurnaan dan Deirdre Byrne, manajerial, atas bantuan dan dukungan dalam persiapan buku ini.

 

Referensi                                                                                                                                                                            

 

Walt G & Gilson L (1994). Reforming the health sector in developing countries: the central role of policy analysis. Health Policy and Planning 9: 353−70

 

 

LEBIH LANJUT BACA  PDF DIBAWAH INI

 

MAKING HEALTH POLICY

 

https://drive.google.com/file/d/1vEMryHcgj6xvp4oYASpo8g8fY_fGVsCC/view?usp=sharing

 

 SENGKETA MEDIK

Sengketa Medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit / fasilitas kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya 

 

lebih lanjut lihat  pdf  berikut: 

https://drive.google.com/file/d/1rvI_kn_ER6OH56NjIXCnvi_QywsLcEwm/view?usp=sharing

 


 KOMPENDIUM HUKUM KESEHATAN


KOMPENDIUM HUKUM KESEHATAN

 https://drive.google.com/file/d/1rvI_kn_ER6OH56NjIXCnvi_QywsLcEwm/view?usp=sharing

Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

 

Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 15/2019”) yang berbunyi:

 

 

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.      Peraturan Pemerintah;

e.       Peraturan Presiden;

f.       Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

 

Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan hierarki tersebut dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[1]

 

Jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud di atas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:[2]

  1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”);
  2. Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”);
  3. Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”);
  4. Mahkamah Agung;
  5. Mahkamah Konstitusi (“MK”);
  6. Badan Pemeriksa Keuangan;
  7. Komisi Yudisial;
  8. Bank Indonesia;
  9. Menteri;
  10. Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang (“UU”) atau pemerintah atas perintah UU;
  11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
  12. Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.

 

Peraturan perundang-undangan tersebut di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.[3]

 

Yang Berwenang Menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Materi Muatan yang Diatur di Dalamnya




Perlu juga diketahui bahwa dari hierarki dan jenis-jenis peraturan perundang-undangan tersebut, materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU, Perda Provinsi, atau Perda Kabupaten/Kota.[19]

 

Sebagai tambahan informasi, setiap peraturan perundang-undangan memiliki Bagian Menimbang (konsiderans) dan Bagian Mengingat yang masing-masing memiliki muatan tersendiri. Apakah itu? Anda dapat simak Arti ‘Menimbang’ dan ‘Mengingat’ Dalam Peraturan Perundang-Undangan.

 

Ulasan lain mengenai topik peraturan perundang-undangan juga dapat Anda temukan dalam artikel-artikel berikut:

  1. Apakah Materi Muatan Perppu Sama dengan Undang-undang? - Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Namun apakah materi muatannya sama dengan undang-undang?
  2. Apakah TAP MPR Dapat Dipersamakan dengan UUD 1945 atau UU? - Adanya kejelasan kedudukan TAP MPR yang kini tertuang dalam UU 12/2011 tidak serta merta menjadikan kedudukan TAP MPR dapat dipersamakan dengan UUD 1945 atau UU.
  3. Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan -  Keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya UU 12/2011 tetap diakui keberadaannya. Namun bagaimana dengan kekuatan mengikatnya?
  4. Bisakah PP Dibentuk Tanpa Ada Perintah UU? - Apabila suatu masalah di dalam suatu UU memerlukan pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuannya tidak menyebutkan secara tegas-tegas untuk diatur dengan PP, maka PP dapat mengaturnya lebih lanjut sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang.
  5. Status Peraturan Desa Setelah Berlakunya UU No. 12/2011 - Peraturan desa sebagai peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa tetap merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

 


Sumber:

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4012/hierarki-peraturan-perundang-undangan-di-indonesia/\

 

 HERARKI PER UU RI

 https://drive.google.com/file/d/1AIUvIHRfwgsRIww58AasPAO4GSBCzpWp/view?usp=sharing

 

 UU NO 12 THN 2011

 https://drive.google.com/file/d/1oq9UR9XkmVgnIK9uxGHUdOPMKla5VwD7/view?usp=sharing

UU NO 15 THN 2019 


https://drive.google.com/file/d/1Qq1bAIqA-9Rq_dcFBmMV_6hpOshD_AYl/view?usp=sharing


 NASKAH AKADEMIK (NA)

Dalam ilmu perundang-undangan, naskah akademik merupakan prasyarat untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan. Pemakaian istilah Naskah Akademik peraturan perundang-undangan secara baku digulirkan Tahun 1994 melalui Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) NO. G.159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang petunjuk teknis penyusunan naskah akademik peraturan perundang-undangan adalah naskah awal yang memuat pengaturan materi-materi perundang-undangan bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistemik, holistik, dan futuristik.

 

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa :

 

“Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang.”

 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa :

 

“Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.”

 

 

 BERIKUT PDF TENTANG NASKAH AKADEMIK



NASKAH AKADEMIK

 

https://drive.google.com/file/d/1P-DER2zsNtdyGS2yUenQhOoCmUzDMHSz/view?usp=sharing



https://drive.google.com/file/d/1EhUr4vWF7wGsEvn8weB2JOHMIVebTVTA/view?usp=sharing



NASKAH AKADEMIK KOTA KEDIRI

https://drive.google.com/file/d/1hYgBB5cdWsi-jqWtKZiF8vaoATBWGCID/view?usp=sharing



 KEBIJAKAN

1.         Pentingnya Kebijakan

Kebijakan (policy) umumnya digunakan untuk memilih dan menunjukkan pilihan terpenting untuk mempererat kehidupan, baik dalam kehidupan organisasi kepemerintahan maupun privat. Kebijakan harus bebas dari konotasi atau nuansa yang dicakup dalam kata politis (political), yang sering diyakini mengandung makna keberpihakan akibat adanya kepentingan. Kebijakan sebuah ketetapan berlaku dan dicirikan oleh perilaku yang konsisten serta berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan). Adapun kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan yang lebih kurang saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan yang tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah.

2.         Fungsi Filsafat Kebijakan

Dalam filsafat kebijakan (policy philosopies) memperkenalkan konsep pemerintahan dalam masyarakat yang pluralistis, seperti Indonesia dan Amerika Serikat dengan teori Brokerism. Di antara penganut teori ini, yaitu David Easton dan Robert Dahl sangat membantu memahami pluralisme. Teori Brokerism beranggapan


bahwa masyarakat terdiri atas beberapa kelompok kepentingan (interest-group) dan pemerintah “sebagai alat perekat” serta memiliki pegangan yang kuat dari semua unsur kelompok kepentingan itu menjadi suatu kekuatan yang terintegrasi.

3.         Kewajiban Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Kebijakan

Melihat fungsi dari filsafat kebijakan, partisipasi masyarakat wajib dalam penyusunan kebijakan di sebuah negara demokrasi. Dalam konteks otonomi daerah pun, partisipasi masyarakat dijamin melalui Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 45 disebutkan bahwa anggota DPRD mempunyai kewenangan menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Pasal 139 menegaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah. Dijaminnya kebebasan masyarakat menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam penyusunan seperti kebijakan publik di daerah, agar kebijakan publik memenuhi rasa keadilan dan tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Oleh karena itu, perumusan kebijakan publik dimulai dari dan oleh rakyat, serta untuk rakyat, terutama di sebuah negara demokrasi.

 

 

 BUKU KEBIJAKAN PUBLIK

 

 https://drive.google.com/file/d/1KFZ9DOfCeYrCLqte1WkxOnw_kFobM3Rf/view?usp=sharing

 

 

 

 AMANDEMEN


SEJARAH PELAKSANAAN DAN AMANDEMEN UUD 1945

MPR hasil Pemilu 1999, mengakhiri masa tugasnya dengan mempersembahkan UUD 1945 Amandemen IV. Terhadap produk terakhir MPR tersebut kembali muncul pro dan kontra. Yang setuju terhadap amandemen menyatakan bahwa itulah hasil maksimal MPR produk pemilu (1999). Masyarakat diminta untuk secara sabar menunggu efektifnya atau tidaknya setelah amandemen dilaksanakan mungkin tidak sekali, setelah beberapa kali pelaksanaan baru bisa dievaluasi untuk, bila perlu dilakukan penyempurnaan kembali. Atas terjadinya kekurangan di sana sini harus disikapi secara arif karena tidak ada karya manusia sempurna. Ada pula yang begitu antusias menyambut UUD 1945 Amandemen IV, dengan menyebutnya sebagai “karya monumental bangsa”.

Sehingga sejarah mencatat sudah empat kali UUD 1945 amandemen dilakukan, yaitu sebagai hasil Sidang Umum MPR 1999 (Amandemen I), hasil Sidang Umum MPR 2000 (Amandemen II), hasil Sidang Umum MPR 2001 (Amandemen III), hasil Sidang Umum MPR 2002 (Amandemen IV). Meskipun demikian, hasil akhir amandemen bukan berarti tidak ada yang tidak setuju, bahkan menentang, menganggap amandemen ke IV sudah kebablasan. Produk tersebut tidak lagi mencerminkan sistem prudensial, bahkan cenderung lebih bersifat parlementer. Kalangan ini (termasuk sejumlah purnawirawan petinggi militer (AD) menuntut kembali ke UUD 1945 versi original.

Amandeman (batang tubuh) UUD 1945 hampir tidak berbeda dengan proses awal kelahiran (batang tubuh) UUD 1945, yakni produk upaya mengakomodasikan dan/atau mengkompromikan sejumlah kepentingan yang beberapa diantaranya berseberangan. Namun ada perbedaan mandasar bahkan sangat prinsipil diantara keduanya.

Sementara oleh tokoh yang mengetuai proses lahirnya UUD 1945 (Ir. Soekarno) pada hari diundangkannya UUD 1945 original (18 Agustus 1945), secara sadar dan tegas dinyatakan sebagai UUD kilat dan bersifat sementara yang setelah terbentuk MPR harus disempurnakan (dalam arti luas). Namun disisi lain, pendukung UUD 1945 asli dan pendukung UUD 1945 amandemen ke IV masing-masing meyakininya sebagai produk final.

 

 

 

https://drive.google.com/file/d/11QFeJSueRxBLwQHLhRrN87IErxTf5tQy/view?usp=sharing 




 PDF AMANDEMEN UUD 1945

 

https://drive.google.com/file/d/1e1MIaNtvUp6w4fv2QDzq7q1ym84afBdm/view?usp=sharing

 

https://drive.google.com/file/d/1uTwp54Egweq3tAbh8jQvqWf7rv0Q_hz5/view?usp=sharing

 

 

 YUDISIAL REVIEW

 

Apa yang dimaksudkan Judicial Review?, tidak lain adalah suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pelaksana kekuasaan kehakiman dan atau badan lainnya yang ditunjuk oleh konstitusi (Grondwet) untuk dapat melakukan peninjauan dan atau pengujian kembali dengan cara melakukan interpretasi hukum dan atau interpretasi konstitusi untuk memberikan penyelesaian yuridis.

Dalam lintasan sejarah hukum di beberapa negara, doktrin tentang Judicial Review ditemukan adanya perbedaan antar satu negara dengan negara lainnya. Misalnya di Inggeris dan Amerika Serikat meskipun termasuk satu rumpun keluarga hukum Common Law system, akan tetapi berbeda sudut pandangnya terhadap doktrin Judicial Review. Pula demikian juga halnya pada beberapa negara lain, seperti misalnya pada negara Perancis, Belanda, Austria, Belgia, Amerika Latin, dan lainnya.

Doktrin Ilmu Hukum memperkenalkan dua model Judicial Review, sebagai berikut :

a.       Judicial Review bidang Pengadilan

b.       Judicial Review bidang Konstitusi

Judicial Review bidang Pengadilan, adalah pengujian kembali oleh suatu lembaga peradilan tertinggi terhadap putusan peradilan dibawahnya dengan alasan-alasan antara lain adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim peradilan di bawahnya, sehingga hakim pada peradilan tertinggi dapat menguji secara materil dari penerapan hukum.

Mahkamah Agung Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan Judicial Review namun terbatas hanya kewenangan pada pengujian materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang.

Judicial Review bidang Konstitusi, adalah peninjauan   kembali dan atau pengujian oleh suatu badan kekuasaan negara untuk dapat membatalkan putusan badan pembuat undang-undang (legislasi) dan atau badan Pemerintahan (eksekutif). Judicial Review bidang ini di Indonesia menjadi kompetensi dari Mahkamah Konstitusi.

Kompetensi Mahkamah Konstitusi Indonesia di bidang Judicial Review ditujukan terhadap pengujian UU terhadap UUD baik dari segi formil maupun dari segi materil, yang biasa diistilahkan dengan pengujian konstitusionalisme. Dasar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, ditemukan pada Pasal 24C UUD NRI 1945 dan pula diatur lebih lanjut pada Pasal 10 UU. No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya dengan UU. No. 8 Tahun 2011.

 

 

PDF YUDICIAL REVIEW 

 https://drive.google.com/file/d/19CWl29oaJBqI3UmKXdQVr7JcTH7ViKF8/view?usp=sharing

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DISIPLIN DALAM PROFESI KESEHATAN

 DISIPLIN DALAM PROFESI KESEHATAN  UU NO 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN PDF UU 36 / 2009 https://drive.google.com/file/d/1KJU_LrueXU4Hoo2...