Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 15/2019”) yang berbunyi:
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan hierarki tersebut dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[1]
Jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud di atas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:[2]
- Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”);
- Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”);
- Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”);
- Mahkamah Agung;
- Mahkamah Konstitusi (“MK”);
- Badan Pemeriksa Keuangan;
- Komisi Yudisial;
- Bank Indonesia;
- Menteri;
- Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang (“UU”) atau pemerintah atas perintah UU;
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
- Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.[3]
Yang Berwenang Menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Materi Muatan yang Diatur di Dalamnya
Perlu juga diketahui bahwa dari hierarki dan jenis-jenis peraturan perundang-undangan tersebut, materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU, Perda Provinsi, atau Perda Kabupaten/Kota.[19]
Sebagai tambahan informasi, setiap peraturan perundang-undangan memiliki Bagian Menimbang (konsiderans) dan Bagian Mengingat yang masing-masing memiliki muatan tersendiri. Apakah itu? Anda dapat simak Arti ‘Menimbang’ dan ‘Mengingat’ Dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Ulasan lain mengenai topik peraturan perundang-undangan juga dapat Anda temukan dalam artikel-artikel berikut:
- Apakah Materi Muatan Perppu Sama dengan Undang-undang? - Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Namun apakah materi muatannya sama dengan undang-undang?
- Apakah TAP MPR Dapat Dipersamakan dengan UUD 1945 atau UU? - Adanya kejelasan kedudukan TAP MPR yang kini tertuang dalam UU 12/2011 tidak serta merta menjadikan kedudukan TAP MPR dapat dipersamakan dengan UUD 1945 atau UU.
- Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan - Keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya UU 12/2011 tetap diakui keberadaannya. Namun bagaimana dengan kekuatan mengikatnya?
- Bisakah PP Dibentuk Tanpa Ada Perintah UU? - Apabila suatu masalah di dalam suatu UU memerlukan pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuannya tidak menyebutkan secara tegas-tegas untuk diatur dengan PP, maka PP dapat mengaturnya lebih lanjut sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang.
- Status Peraturan Desa Setelah Berlakunya UU No. 12/2011 - Peraturan desa sebagai peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa tetap merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Sumber:
https://drive.google.com/file/d/1AIUvIHRfwgsRIww58AasPAO4GSBCzpWp/view?usp=sharing
https://drive.google.com/file/d/1oq9UR9XkmVgnIK9uxGHUdOPMKla5VwD7/view?usp=sharing
https://drive.google.com/file/d/1Qq1bAIqA-9Rq_dcFBmMV_6hpOshD_AYl/view?usp=sharing
NASKAH AKADEMIK (NA)
Dalam ilmu perundang-undangan, naskah akademik merupakan prasyarat untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan. Pemakaian istilah Naskah Akademik peraturan perundang-undangan secara baku digulirkan Tahun 1994 melalui Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) NO. G.159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang petunjuk teknis penyusunan naskah akademik peraturan perundang-undangan adalah naskah awal yang memuat pengaturan materi-materi perundang-undangan bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistemik, holistik, dan futuristik.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa :
“Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa :
“Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.”
BERIKUT PDF TENTANG NASKAH AKADEMIK
https://drive.google.com/file/d/1P-DER2zsNtdyGS2yUenQhOoCmUzDMHSz/view?usp=sharing
https://drive.google.com/file/d/1EhUr4vWF7wGsEvn8weB2JOHMIVebTVTA/view?usp=sharing
https://drive.google.com/file/d/1hYgBB5cdWsi-jqWtKZiF8vaoATBWGCID/view?usp=sharing
KEBIJAKAN
1. Pentingnya Kebijakan
Kebijakan (policy) umumnya digunakan untuk memilih dan menunjukkan pilihan terpenting untuk mempererat kehidupan, baik dalam kehidupan organisasi kepemerintahan maupun privat. Kebijakan harus bebas dari konotasi atau nuansa yang dicakup dalam kata politis (political), yang sering diyakini mengandung makna keberpihakan akibat adanya kepentingan. Kebijakan sebuah ketetapan berlaku dan dicirikan oleh perilaku yang konsisten serta berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan). Adapun kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan yang lebih kurang saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan yang tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah.
2. Fungsi Filsafat Kebijakan
Dalam filsafat kebijakan (policy philosopies) memperkenalkan konsep pemerintahan dalam masyarakat yang pluralistis, seperti Indonesia dan Amerika Serikat dengan teori Brokerism. Di antara penganut teori ini, yaitu David Easton dan Robert Dahl sangat membantu memahami pluralisme. Teori Brokerism beranggapan
bahwa masyarakat terdiri atas beberapa kelompok kepentingan (interest-group) dan pemerintah “sebagai alat perekat” serta memiliki pegangan yang kuat dari semua unsur kelompok kepentingan itu menjadi suatu kekuatan yang terintegrasi.
3. Kewajiban Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Kebijakan
Melihat fungsi dari filsafat kebijakan, partisipasi masyarakat wajib dalam penyusunan kebijakan di sebuah negara demokrasi. Dalam konteks otonomi daerah pun, partisipasi masyarakat dijamin melalui Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 45 disebutkan bahwa anggota DPRD mempunyai kewenangan menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Pasal 139 menegaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah. Dijaminnya kebebasan masyarakat menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam penyusunan seperti kebijakan publik di daerah, agar kebijakan publik memenuhi rasa keadilan dan tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Oleh karena itu, perumusan kebijakan publik dimulai dari dan oleh rakyat, serta untuk rakyat, terutama di sebuah negara demokrasi.
https://drive.google.com/file/d/1KFZ9DOfCeYrCLqte1WkxOnw_kFobM3Rf/view?usp=sharing
AMANDEMEN
SEJARAH PELAKSANAAN DAN AMANDEMEN UUD 1945
MPR hasil Pemilu 1999, mengakhiri masa tugasnya dengan mempersembahkan UUD 1945 Amandemen IV. Terhadap produk terakhir MPR tersebut kembali muncul pro dan kontra. Yang setuju terhadap amandemen menyatakan bahwa itulah hasil maksimal MPR produk pemilu (1999). Masyarakat diminta untuk secara sabar menunggu efektifnya atau tidaknya setelah amandemen dilaksanakan mungkin tidak sekali, setelah beberapa kali pelaksanaan baru bisa dievaluasi untuk, bila perlu dilakukan penyempurnaan kembali. Atas terjadinya kekurangan di sana sini harus disikapi secara arif karena tidak ada karya manusia sempurna. Ada pula yang begitu antusias menyambut UUD 1945 Amandemen IV, dengan menyebutnya sebagai “karya monumental bangsa”.
Sehingga sejarah mencatat sudah empat kali UUD 1945 amandemen dilakukan, yaitu sebagai hasil Sidang Umum MPR 1999 (Amandemen I), hasil Sidang Umum MPR 2000 (Amandemen II), hasil Sidang Umum MPR 2001 (Amandemen III), hasil Sidang Umum MPR 2002 (Amandemen IV). Meskipun demikian, hasil akhir amandemen bukan berarti tidak ada yang tidak setuju, bahkan menentang, menganggap amandemen ke IV sudah kebablasan. Produk tersebut tidak lagi mencerminkan sistem prudensial, bahkan cenderung lebih bersifat parlementer. Kalangan ini (termasuk sejumlah purnawirawan petinggi militer (AD) menuntut kembali ke UUD 1945 versi original.
Amandeman (batang tubuh) UUD 1945 hampir tidak berbeda dengan proses awal kelahiran (batang tubuh) UUD 1945, yakni produk upaya mengakomodasikan dan/atau mengkompromikan sejumlah kepentingan yang beberapa diantaranya berseberangan. Namun ada perbedaan mandasar bahkan sangat prinsipil diantara keduanya.
Sementara oleh tokoh yang mengetuai proses lahirnya UUD 1945 (Ir. Soekarno) pada hari diundangkannya UUD 1945 original (18 Agustus 1945), secara sadar dan tegas dinyatakan sebagai UUD kilat dan bersifat sementara yang setelah terbentuk MPR harus disempurnakan (dalam arti luas). Namun disisi lain, pendukung UUD 1945 asli dan pendukung UUD 1945 amandemen ke IV masing-masing meyakininya sebagai produk final.
https://drive.google.com/file/d/11QFeJSueRxBLwQHLhRrN87IErxTf5tQy/view?usp=sharing
https://drive.google.com/file/d/1e1MIaNtvUp6w4fv2QDzq7q1ym84afBdm/view?usp=sharing
https://drive.google.com/file/d/1uTwp54Egweq3tAbh8jQvqWf7rv0Q_hz5/view?usp=sharing
YUDISIAL REVIEW
Apa yang dimaksudkan Judicial Review?, tidak lain adalah suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pelaksana kekuasaan kehakiman dan atau badan lainnya yang ditunjuk oleh konstitusi (Grondwet) untuk dapat melakukan peninjauan dan atau pengujian kembali dengan cara melakukan interpretasi hukum dan atau interpretasi konstitusi untuk memberikan penyelesaian yuridis.
Dalam lintasan sejarah hukum di beberapa negara, doktrin tentang Judicial Review ditemukan adanya perbedaan antar satu negara dengan negara lainnya. Misalnya di Inggeris dan Amerika Serikat meskipun termasuk satu rumpun keluarga hukum Common Law system, akan tetapi berbeda sudut pandangnya terhadap doktrin Judicial Review. Pula demikian juga halnya pada beberapa negara lain, seperti misalnya pada negara Perancis, Belanda, Austria, Belgia, Amerika Latin, dan lainnya.
Doktrin Ilmu Hukum memperkenalkan dua model Judicial Review, sebagai berikut :
a. Judicial Review bidang Pengadilan
b. Judicial Review bidang Konstitusi
Judicial Review bidang Pengadilan, adalah pengujian kembali oleh suatu lembaga peradilan tertinggi terhadap putusan peradilan dibawahnya dengan alasan-alasan antara lain adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim peradilan di bawahnya, sehingga hakim pada peradilan tertinggi dapat menguji secara materil dari penerapan hukum.
Mahkamah Agung Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan Judicial Review namun terbatas hanya kewenangan pada pengujian materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang.
Judicial Review bidang Konstitusi, adalah peninjauan kembali dan atau pengujian oleh suatu badan kekuasaan negara untuk dapat membatalkan putusan badan pembuat undang-undang (legislasi) dan atau badan Pemerintahan (eksekutif). Judicial Review bidang ini di Indonesia menjadi kompetensi dari Mahkamah Konstitusi.
Kompetensi Mahkamah Konstitusi Indonesia di bidang Judicial Review ditujukan terhadap pengujian UU terhadap UUD baik dari segi formil maupun dari segi materil, yang biasa diistilahkan dengan pengujian konstitusionalisme. Dasar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, ditemukan pada Pasal 24C UUD NRI 1945 dan pula diatur lebih lanjut pada Pasal 10 UU. No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya dengan UU. No. 8 Tahun 2011.
https://drive.google.com/file/d/19CWl29oaJBqI3UmKXdQVr7JcTH7ViKF8/view?usp=sharing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar